Setelah Wayang, Batik, Keris diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia,  Kini giliran Angklung di perjuangkan menjadi Warisan Budaya Dunia.
Alat Musik dari bambu ini ini selain terdapat di Sunda (Jawa Barat) ternyata juga terdapat di Jawa tengah, Jawa timur.
berikut ini adalah ulasan tentang angklung Sunda yang terangkum dari wikipedia:
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal  jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa  digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna  hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik  angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang  berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga  besar.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung  gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih  dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung  diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar  tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya  sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai  pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan,  itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat  menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung  menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan  pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan  dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos  kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi  kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen)  terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu  sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta  upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang  malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu  buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai  dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang  dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang  kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam  permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing  (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu  sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak  padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat  mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat  disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan  permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan  dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang  sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi  iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan  sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero  Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi  kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan  angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan  teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda—  mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari  berbagai komunitas.
[sunting] Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy)  digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan  semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau  dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung  ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun),  terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis  tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa  ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya  hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar  tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan  berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan  lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan  dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun  (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan  tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di  pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung  Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang,  Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran,  Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang,  Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong,  Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para  penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran  kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran.  Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan  tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh  laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka  dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu),  tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan.  Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung,  ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.  Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama  bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk.  Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung  Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung  Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di  Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan  ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu;  Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana,  dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya,  hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di  samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang  terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang  Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
[sunting] Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan  atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun  (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini  dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya,  tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara  ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan  acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung  adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu  berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena  mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara  tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit  keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).  Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka  akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa  dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi  kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami  perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,  perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam  kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung  besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan  gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen  dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung,  Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan.  Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung  tetap.
[sunting] Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor.  Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi  dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut  padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
[sunting] Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan  angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa  Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan  untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan  masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang  berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah  badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar  abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen,  belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka  berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam  yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1  angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2  buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya  menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam  perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks  memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut  keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu,  disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata  tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.
[sunting] Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya  terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan  pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada  masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan  dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang  mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat  dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan  padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan.  Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung)  mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat  karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun  sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan  demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara  ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di  kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut  terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung,  2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung  enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan  badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet,  kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal  bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud,  Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum.  Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan,  dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh  wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik mambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah  beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri  atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan  Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor),  Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung  Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan  Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak  tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan  angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog)  oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi  tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu  lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah  dan dimainkan secara orkestra besar
Sumber : wikepedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar