Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku  jenis kesenian khas  Ponorogo, Jawa Timur, Reyog Ponorogo, terlintas  kesan mistis di  dalamnya. Reyog, sering diidentikkan dengan dunia  hitam, preman atau  jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas  pula kekuatan supra  natural. Barongan mempertontonkan keperkasaan  dalam mengangkat dadak  berat seberat sekitar 40 kilogram dengan  kekuatan gigitan gigi sepanjang  pertunjukan berlangsung 
Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung,   angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang   memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan   gairah. Tidak hanya satu versi yang diceritakan asal muasal kesenian   Reyog Ponorogo.
Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993   menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5   bertahta di Kerajaan Majapahit. Untuk menyindir sang raja yang amat   dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi   burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang   bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Betoro  Katong,  penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan  perlu  dilestarikan.
Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya   Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reyog   ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar   tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu   Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar   Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian Reyog ini.   Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut   Samagini.
Bahwa reyog Ponorogo ini  menceritakan Ki Kutu Suryongalam yang  merupakan Demang Ponorogo yang  dianggap disersi karena berani mengkritik  dan beroposisi dengan  Bre-Kertabumi (Brawijaya V), Raja Majapahit waktu  itu. Kutu melihat  bersemainya Demak yang ditopang oleh kalangan Islam  merupakan ancaman  serius terhadap kelangsungan Majapahit.
Nasehat Kutu ini justru dianggap fitnah oleh  Brawijaya V yang telah  termakan oleh bujuk rayu Dewi Campa (seorang  putri Cina yang  dipersembahkan kepada Brawijaya dari pihak Demak). Dewi  Campa memang  ditugaskan oleh Demak untuk melakukan Islamisasi  terhadap Kerajaan Majapahit. Akibat pertimbangan yang diberikannya itu,  maka Kutu menuai hukuman politik dan harus dimusnahkan. Namun begitu,  Kutu tak patah arang, ia membangun  basis pertahanan lokal sekaligus  mengkritik Brawijaya V dengan mencipta  reyog. Tampilan reyog yang  menggambarkan kepala harimau yang berbalut  bulu merak menandakan bahwa  Brawiajaya V tak berkutik diketiak Dewi  Campa. Sedang barisan Jathil  (pasukan berkuda) yang bersifat femenin  mengilustrasikan bahwa prajurit  Majapahit bak perempuan yang tak  bernyali untuk menggempur Demak  Bintoro.
Singkat cerita, saat Majapahit runtuh oleh Demak,  maka Demak juga  menghabisi Kutu. Pasukan Demak yang dipimpin Katong  berhasil menduduki  Ponorogo. Selanjutnya mitos mitos reyog Kutu dikemas  ulang oleh Katong  yang menceritakan iring ringan Prabu Klana Sewandono  (Wengker) hendak  mempersunting Dewi Songgolangit (Kediri). Nafas satiris  dalam mitos  mitos reyog Kutu dengan sengaja dilenyapkan oleh Katong,  sebab antara  Katong dan Brawijaya V ternyata hubungan bapak-anak. Karena  Katong  sebagai pemangku sejarah yang dominan dan berkuasa, maka  berlakulah  hukum kekuasaan, yakni yang menang yang akan membentuk  sejarah.
Biar bagaimanapun cerita yang menyebutkan asal usul Reyog Ponorogo   bersumber yang jelas. Kini kesenian ini tidak hanya dijumpai di daerah   kelahirannya saja. Biasanya satu group Reyog terdiri dari seorang wWarok   Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu   Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang,  peran  sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.
Kedasyatan Reyog Ponorogo dalam mengumpulkan dan mengerakkan massa   sempat membuat sebuah organisasi sosial politik sejak tahun 1950-an   untuk mendomplengnya sebagai alat. Tahun 1955 misalnya terbentuk cakra   cabang kesenian Reyog agama milik NU, untuk memenangkan partainya pada   pemilu. Kemudian Bren Barisan Reyog Nasional atau BRP atau Barisan Reyog   Ponorogo milik Tegak. Hal ini membuat Reyog Ponorogo dalam   perkembangannya nyaris tiba jurang kematian. 
Pada tahun 1965 sampai 1971 saat pemerintah menumpas PKI, BRP   dibubarkan dan imbasnya membuat Reyog-Reyog lain ikut ujungnya. Ribuan   unit Reyog terpaksa dibakar akibat terpaan isu kesenian ini menjadi   penggalak komunis dalam mengumpulkan dan mengerakan massa. Para pelaku   kesenian ini akhirnya menjadi pekan atau pencari rumput.
Beruntung di akhir 1976, Reyog Ponorogo kembali dihidupkan dengan   pendirian INTI (Insan Tagwa Illahi Ponorogo). Belajar dari sejarah ini,   banyak pelaku seni ini yang tidak ingin lagi ditunggangi. Biarlah Reyog   menjadi milik rakyat tanpa batasan dan diklaim milik golongan  tertentu. Reyog Ponorogo terus berkibar hingga sekarang, bahkan sejumlah   pengembangan bentuk dalam pengarapan kesenian ini banyak dilakukan.   Terutama dengan menjamurnya lembaga formil untuk mengembangkan kesenian   Reyog dalam bentuk konterporer. Ini soal kesenian yang terlanjur dicap   berbau mistis ini, upaya pelestarian dan pemulihan melalui festival   rutin tahunan terkadang justru mengorbankan kemurnian dan kekhasan   kesenian itu sendiri. Padahal unsur mistis, justru merupakan kekuatan   spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reyog Ponorogo.
Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reyog Ponorogo.  Warok  misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini   menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang   menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas   kesenian ini. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam   pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian Reyog.   Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang   masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok   sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.
Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang   pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit   cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan   minuman keras dan dunia preman.
Untuk menjadi warok, perjalanan yang cukup panjang, lama, penuh liku dan   sejuta goda. Paling tidak itulah yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo,   Mbah Wo Kucing. Untuk menuju kesana, harus menguasai apa yang disebut   Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di   masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat   seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual   ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua   sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari   mulutnya seolah bertenaga.
Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan   tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya.   Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas   seniman Reyog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara   gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan   kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan   istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling   mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi   khusus antara gemblak dan waroknya.
Sebegitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan.   Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan.   Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepimpinan   yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara   gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai   penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal   dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.
Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian   Reyog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata   mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya. 
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus  mempunyai  kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya  beban darak  merak yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai  bulu-bulu  burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai  40-an  kilogram selama masa pertunjukan.
Sekali lagi kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah   kekuatan ekstra ini. Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher   pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang   kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut   kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para   pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak   diberkati wahyu, tarian yang diperagakan seorang pembarong akan tampak   tidak enak dan tidak pas untuk ditonton.
Semula banyak orang tua di Ponorogo khawatir, akan kelangsungan   kesenian khas Ponorogo ini. Pasalnya kemajuan jaman akan membuat pemuda   di Ponorogo tidak akan mau lagi ikut berReyog. Apalagi menjadi   pembarong. Namun kini telah banyak lahir pembarong muda, yang sedikit   demi sedikit meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih   rasional. Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan   dadak merak. Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan   mengakibatkan cedera.
Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana   posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong   tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya   kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan   meninggalkan profesinya.
Saat ini, banyak pembarong yang menyangkal penggunaan kekuatan gaib   dalam pementasan namun sebenarnya kekuatan gaib adalah elemen spiritual   yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama halnya dengan warok, kini  pun  persepsi pembarong digeser. Lebih banyak dilakukan dengan  pendekatan  rasional.
Pada acara Grebeg Suro yang acara puncaknya bertepatan dengan tanggal  1  Muharam (Tahun baru hijriah), di kota Ponorogo selalu diadakan   festival Reyog Tingkat Nasional. Pada even ini seluruh komunitas,   paguyuban ataupun perkumpulan reyog yang ada diseluruh nusantara (bahkan   dunia) berkumpul menjadi satu di kota Ponorogo untuk memperlihatkan   koreografi reyog dari yang klasik hingga modern kepada para   pengunjungnya.
Ajang ini telah menjadi agenda rutin tahunan oleh Pemda Kabupaten   Ponorogo, biasanya dimulai satu atau dua minggu sebelum tanggal 1   Muharam setiap tahunnya. Seluruh masyarakat Ponorogo dan sekitarnya   menyambut positif festival ini yang dipusatkan di Alun-alun kota   Ponorogo, lengkap dengan pasar malam dan aneka macam jajanan khas ndesonya.
Semoga dengan adanya festival ini, seni budaya  reyog yang asli dari  bumi Ponorogo ini akan tetap lestari dan bisa  bertahan selama-lamanya.  Amin.
Sumber : http://yudhiapr.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar