Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage

7/03/2011

Sejarah Reog Ponorogo Antara Mistis Dan Seni Budaya

Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reyog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya. Reyog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra natural. Barongan mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung
Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan gairah. Tidak hanya satu versi yang diceritakan asal muasal kesenian Reyog Ponorogo.

Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit. Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Betoro Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan.

Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reyog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian Reyog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.

Bahwa reyog Ponorogo ini menceritakan Ki Kutu Suryongalam yang merupakan Demang Ponorogo yang dianggap disersi karena berani mengkritik dan beroposisi dengan Bre-Kertabumi (Brawijaya V), Raja Majapahit waktu itu. Kutu melihat bersemainya Demak yang ditopang oleh kalangan Islam merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan Majapahit.

Nasehat Kutu ini justru dianggap fitnah oleh Brawijaya V yang telah termakan oleh bujuk rayu Dewi Campa (seorang putri Cina yang dipersembahkan kepada Brawijaya dari pihak Demak). Dewi Campa memang ditugaskan oleh Demak untuk melakukan Islamisasi terhadap Kerajaan Majapahit. Akibat pertimbangan yang diberikannya itu, maka Kutu menuai hukuman politik dan harus dimusnahkan. Namun begitu, Kutu tak patah arang, ia membangun basis pertahanan lokal sekaligus mengkritik Brawijaya V dengan mencipta reyog. Tampilan reyog yang menggambarkan kepala harimau yang berbalut bulu merak menandakan bahwa Brawiajaya V tak berkutik diketiak Dewi Campa. Sedang barisan Jathil (pasukan berkuda) yang bersifat femenin mengilustrasikan bahwa prajurit Majapahit bak perempuan yang tak bernyali untuk menggempur Demak Bintoro.

Singkat cerita, saat Majapahit runtuh oleh Demak, maka Demak juga menghabisi Kutu. Pasukan Demak yang dipimpin Katong berhasil menduduki Ponorogo. Selanjutnya mitos mitos reyog Kutu dikemas ulang oleh Katong yang menceritakan iring ringan Prabu Klana Sewandono (Wengker) hendak mempersunting Dewi Songgolangit (Kediri). Nafas satiris dalam mitos mitos reyog Kutu dengan sengaja dilenyapkan oleh Katong, sebab antara Katong dan Brawijaya V ternyata hubungan bapak-anak. Karena Katong sebagai pemangku sejarah yang dominan dan berkuasa, maka berlakulah hukum kekuasaan, yakni yang menang yang akan membentuk sejarah.

Biar bagaimanapun cerita yang menyebutkan asal usul Reyog Ponorogo bersumber yang jelas. Kini kesenian ini tidak hanya dijumpai di daerah kelahirannya saja. Biasanya satu group Reyog terdiri dari seorang wWarok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.

Kedasyatan Reyog Ponorogo dalam mengumpulkan dan mengerakkan massa sempat membuat sebuah organisasi sosial politik sejak tahun 1950-an untuk mendomplengnya sebagai alat. Tahun 1955 misalnya terbentuk cakra cabang kesenian Reyog agama milik NU, untuk memenangkan partainya pada pemilu. Kemudian Bren Barisan Reyog Nasional atau BRP atau Barisan Reyog Ponorogo milik Tegak. Hal ini membuat Reyog Ponorogo dalam perkembangannya nyaris tiba jurang kematian.

Pada tahun 1965 sampai 1971 saat pemerintah menumpas PKI, BRP dibubarkan dan imbasnya membuat Reyog-Reyog lain ikut ujungnya. Ribuan unit Reyog terpaksa dibakar akibat terpaan isu kesenian ini menjadi penggalak komunis dalam mengumpulkan dan mengerakan massa. Para pelaku kesenian ini akhirnya menjadi pekan atau pencari rumput.

Beruntung di akhir 1976, Reyog Ponorogo kembali dihidupkan dengan pendirian INTI (Insan Tagwa Illahi Ponorogo). Belajar dari sejarah ini, banyak pelaku seni ini yang tidak ingin lagi ditunggangi. Biarlah Reyog menjadi milik rakyat tanpa batasan dan diklaim milik golongan tertentu. Reyog Ponorogo terus berkibar hingga sekarang, bahkan sejumlah pengembangan bentuk dalam pengarapan kesenian ini banyak dilakukan. Terutama dengan menjamurnya lembaga formil untuk mengembangkan kesenian Reyog dalam bentuk konterporer. Ini soal kesenian yang terlanjur dicap berbau mistis ini, upaya pelestarian dan pemulihan melalui festival rutin tahunan terkadang justru mengorbankan kemurnian dan kekhasan kesenian itu sendiri. Padahal unsur mistis, justru merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reyog Ponorogo.

Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reyog Ponorogo. Warok misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas kesenian ini. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian Reyog. Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.

Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan minuman keras dan dunia preman.
Untuk menjadi warok, perjalanan yang cukup panjang, lama, penuh liku dan sejuta goda. Paling tidak itulah yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo, Mbah Wo Kucing. Untuk menuju kesana, harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga.

Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman Reyog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi khusus antara gemblak dan waroknya.
Sebegitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan. Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan. Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepimpinan yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.

Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian Reyog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya.
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban darak merak yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 40-an kilogram selama masa pertunjukan.

Sekali lagi kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini. Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak diberkati wahyu, tarian yang diperagakan seorang pembarong akan tampak tidak enak dan tidak pas untuk ditonton.

Semula banyak orang tua di Ponorogo khawatir, akan kelangsungan kesenian khas Ponorogo ini. Pasalnya kemajuan jaman akan membuat pemuda di Ponorogo tidak akan mau lagi ikut berReyog. Apalagi menjadi pembarong. Namun kini telah banyak lahir pembarong muda, yang sedikit demi sedikit meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih rasional. Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan dadak merak. Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan mengakibatkan cedera.

Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan meninggalkan profesinya.

Saat ini, banyak pembarong yang menyangkal penggunaan kekuatan gaib dalam pementasan namun sebenarnya kekuatan gaib adalah elemen spiritual yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama halnya dengan warok, kini pun persepsi pembarong digeser. Lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional.

Pada acara Grebeg Suro yang acara puncaknya bertepatan dengan tanggal 1 Muharam (Tahun baru hijriah), di kota Ponorogo selalu diadakan festival Reyog Tingkat Nasional. Pada even ini seluruh komunitas, paguyuban ataupun perkumpulan reyog yang ada diseluruh nusantara (bahkan dunia) berkumpul menjadi satu di kota Ponorogo untuk memperlihatkan koreografi reyog dari yang klasik hingga modern kepada para pengunjungnya.

Ajang ini telah menjadi agenda rutin tahunan oleh Pemda Kabupaten Ponorogo, biasanya dimulai satu atau dua minggu sebelum tanggal 1 Muharam setiap tahunnya. Seluruh masyarakat Ponorogo dan sekitarnya menyambut positif festival ini yang dipusatkan di Alun-alun kota Ponorogo, lengkap dengan pasar malam dan aneka macam jajanan khas ndesonya.

Semoga dengan adanya festival ini, seni budaya reyog yang asli dari bumi Ponorogo ini akan tetap lestari dan bisa bertahan selama-lamanya. Amin.


Sumber : http://yudhiapr.blogdetik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar